SEMINAR NASIONAL KEPERAWATAN 2020 FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
Item
Title
SEMINAR NASIONAL KEPERAWATAN 2020
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
Description
Dunia saat ini tengah dihadapkan pada krisis global akibat terjadinya pandemi COVID-19.
Bahkan hingga sekarang belum ada kepastian kapan krisis ini akan berakhir. Krisis tersebut
memiliki konsekuensi terhadap kesejahteraan dan hak anak secara global karena anak merupakan
kelompok usia yang rentan terhadap terjadinya krisis. Oleh karena itu diperlukan upaya yang
komprehensif dan melibatkan berbagai stakeholder untuk menjaga hak dan kesejahteraan anak.
Namun demikian, kita melihat bahwa berbagai negara di seluruh dunia termasuk Indonesia tidak
memiliki budget cukup untuk memenuhi hak anak ini terutama untuk domain perlindungan,
kesehatan, dan edukasi. PBB memperkirakan bahwa telah terjadi lonjakan jumlah anak yang dapat
jatuh kedalam tingkat kemiskinan ekstrim akibat krisis ini (Muhyiddin, 2020). Dengan demikian
krisis ini telah mengambalikan waktu ke masa lalu kepada masa awal membangun kesejahteraan
anak. Oleh karena itu diperlukan perhatian yang lebih kuat dari sebelumnya dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan dan memenuhi hak anak.
Selain konsekuensi terhadap aspek ekonomi, kebijakan pembatasan sosial dan aktifitas
oleh pemerintah untuk mengendalikan pandemi menimbulkan dampak signifikan pada
kesejahteraan anak (UNICEF, 2020). Penutupan sekolah menjadi tantangan tersendiri dalam dunia
pendidikan di negara berkembang, selain itu dampak buruk krisis pada sektor pendidikan ini juga
membuat anak laki-laki maupun perempuan lebih rentan menjadi pekerja anak dan mengalami
kekerasan pada anak (WHO). Penangguhan program vaksinasi dan program kesehatan di
masyarakat diprediksi akan menyebabkan lonjakan angka kesakitan dan kematian bayi dan anak.
Selain pada anak yang sehat dan sakit, dampak sosial dan kesehatan juga dirasakan lebih berat
pada anak dengan disabilitas dan yang memiliki kebutuhan khusus, karena tanpa adanya krisis
global pun, anak disabilitas atau anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan kelompok anak
yang sangat rentan, sering mendapatkan stigmatisasi, dan termarjinalkan (UNICEF, 2020).
Beban yang dihadapi oleh ABK dapat terjadi pada berbagai aspek terutama aspek
kesehatan, sosial, pendidikan, dan ekonomi (Tirtayani, 2017). Kebijakan physical distancing dan
penutupan sekolah memberi konsekuensi dalam regulasi pelayanan kesehatan dan pendidikan
(Huch & Shmis, 2020). Anak tidak hanya membutuhkan akses terhadap akses internet yang baik
dan ketersediaan buku yang lengkap, tetapi juga sangat membutuhkan alat bantu dan kurikulum
pembelajaran khusus yang dapat terus dilakukan selama pembelajaran di rumah. Anak dengan
kondisi sehat dan sakit juga harus diperhatikan terkait pertumbuhan dan perkembangan yang harus
tetap optimal meski dalam keadaan pandemi. Selain itu, anak dengan kebutuhan khusus juga akan
menghadapi hambatan yang lebih besar dalam akses kesehatan yang selama pandemi ini dibatasi.
Layanan terapi dan konseling yang selama masa normal diikuti oleh ABK dan keluarga menjadi
Bahkan hingga sekarang belum ada kepastian kapan krisis ini akan berakhir. Krisis tersebut
memiliki konsekuensi terhadap kesejahteraan dan hak anak secara global karena anak merupakan
kelompok usia yang rentan terhadap terjadinya krisis. Oleh karena itu diperlukan upaya yang
komprehensif dan melibatkan berbagai stakeholder untuk menjaga hak dan kesejahteraan anak.
Namun demikian, kita melihat bahwa berbagai negara di seluruh dunia termasuk Indonesia tidak
memiliki budget cukup untuk memenuhi hak anak ini terutama untuk domain perlindungan,
kesehatan, dan edukasi. PBB memperkirakan bahwa telah terjadi lonjakan jumlah anak yang dapat
jatuh kedalam tingkat kemiskinan ekstrim akibat krisis ini (Muhyiddin, 2020). Dengan demikian
krisis ini telah mengambalikan waktu ke masa lalu kepada masa awal membangun kesejahteraan
anak. Oleh karena itu diperlukan perhatian yang lebih kuat dari sebelumnya dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan dan memenuhi hak anak.
Selain konsekuensi terhadap aspek ekonomi, kebijakan pembatasan sosial dan aktifitas
oleh pemerintah untuk mengendalikan pandemi menimbulkan dampak signifikan pada
kesejahteraan anak (UNICEF, 2020). Penutupan sekolah menjadi tantangan tersendiri dalam dunia
pendidikan di negara berkembang, selain itu dampak buruk krisis pada sektor pendidikan ini juga
membuat anak laki-laki maupun perempuan lebih rentan menjadi pekerja anak dan mengalami
kekerasan pada anak (WHO). Penangguhan program vaksinasi dan program kesehatan di
masyarakat diprediksi akan menyebabkan lonjakan angka kesakitan dan kematian bayi dan anak.
Selain pada anak yang sehat dan sakit, dampak sosial dan kesehatan juga dirasakan lebih berat
pada anak dengan disabilitas dan yang memiliki kebutuhan khusus, karena tanpa adanya krisis
global pun, anak disabilitas atau anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan kelompok anak
yang sangat rentan, sering mendapatkan stigmatisasi, dan termarjinalkan (UNICEF, 2020).
Beban yang dihadapi oleh ABK dapat terjadi pada berbagai aspek terutama aspek
kesehatan, sosial, pendidikan, dan ekonomi (Tirtayani, 2017). Kebijakan physical distancing dan
penutupan sekolah memberi konsekuensi dalam regulasi pelayanan kesehatan dan pendidikan
(Huch & Shmis, 2020). Anak tidak hanya membutuhkan akses terhadap akses internet yang baik
dan ketersediaan buku yang lengkap, tetapi juga sangat membutuhkan alat bantu dan kurikulum
pembelajaran khusus yang dapat terus dilakukan selama pembelajaran di rumah. Anak dengan
kondisi sehat dan sakit juga harus diperhatikan terkait pertumbuhan dan perkembangan yang harus
tetap optimal meski dalam keadaan pandemi. Selain itu, anak dengan kebutuhan khusus juga akan
menghadapi hambatan yang lebih besar dalam akses kesehatan yang selama pandemi ini dibatasi.
Layanan terapi dan konseling yang selama masa normal diikuti oleh ABK dan keluarga menjadi